Aliran Filsafat Positivisme
A. PENDAHULUAN
Pada
 kesempatan ini pembahasannya berawal dari pertanyaan 
seperti Kebenaran itu apakah kecil atau kebenaran besar ? . Yang 
sering juga disebut pemikiran filsafat positivisme.[1]
Dan  untuk suatu ilmu itu dalam menemukan kebenaran, 
tentulah menyandarkan  dirinya kepada kriteria atau teori-teori 
kebenaran dan yang salah  satunya adalah positivistik atau postivisme.[2]
Pertama, Ancient (zaman kuno), 
menurut mereka pada zaman ini terdapat kemajuan manusia.
Kedua,Medieval (pertengahan),
  yakni zaman di mana alam pikiran dikungkung atau didominasi oleh  
Gereja. Selain itu kebebasan pemikiran sangat terbatas, perkembangan  
sains amat sulit dan perkembangan filsafat tersendat-sendat.
Ketiga Zaman Modern, (sekarang) yakni zaman sesudah abad pertengahan 
berakhir hingga sekarang
Namun batas yang jelas
 tentang kapan abad pertengahan berakhir sulit ditentukan.Zaman modern 
sangat dinanti-nantikan oleh banyak kalangan yang begitu bebas, pemikiran yang  tidak dikekang oleh 
tekanan-tekanan di luar dirinya.Kondisi semacam  itulah yang hendak 
dihidupkan kembali pada zaman modern.Mereka selalu  mentaati zaman 
modern sebagai alternatif sebagai zaman yang tepat untuk menuangkan dengan bebas segala 
pemikirannya.[4]
Fislafat abad modern pada pokoknya ada 3 aliran:[5]
1) Aliran Rasionalisme (tokohnya Rene Descartes, 1596-1650 
M)
2) Aliran Empirisme (tokohnya Francis 
Bacon, 1210-1292 M)
3) Aliran Kristicisme 
(tokohnya Immanuel Kant, 1724-1804 M)
B.     PENGERTIAN POSITIVISME
Berawal di Prancis ada aliran yang disebut orang positivisme,
 yang ditokohi oleh August Comte (1798 – 1857 M).[6]Beliau dianggap juga sebagai 
Bapak ilmu Sosiologi Barat. Dan dia dengan singkat memberi gambaran 
positivisme 
itu adalah cara pandang dalam memahami dunia berdasarkan 
sains.[7]Menurut  Dia, supaya ada 
masyarakat baru yang teratur, haruslah terlebih dulu  diperbaiki jiwa 
atau budi. Adapun budi itu menurut Comte mengalami tiga  tingkatan, dan 
tingkatan itu terdapat juga pada kehidupan tiap-tiap  manusia, juga pada
 sejarah ilmu semua.[8]
Tingkat
  pertama ialah tingkat teologi, yang menerangkan segala-galanya dengan 
 pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat: tingkat kedua ialah  
tingkat metafisika yang hendak menerangkan segala sesuatunya melalui  
abstraksi: tingkatan yang ketiga ialah tingkatan positif yang hanya  
menghiraukan yang sungguh-sungguh serta sebab-akibat yang sudah  
tertentukan.[9]
Masa  sekarang ini (masa Comte) haruslah mengabdikan ilmu 
yang disebutnya  positif.Di samping matematika, fisika dan biologia 
dalam ilmu  kemasyarakatanpun semangat positif ini harus dimasukkan. 
Apa-apa yang  tidak positif itu tidak dapat kita alami dan dalam pada 
itu baiklah  orang mengatakan, bahwa ia tidak tahu saja.[10]
Dalam ilmu-ilmu lain seperti ilmu jiwa, sejarah politik dan
 kesustraan positivisme  ini dijadikan dasar juga, lebih-lebih 
oleh H. Taine (1828-1893 M).Dalam  sosiologi yang mendasarkan asasnya 
atas postivisme ialah Emile Durkheim  (1858-1917 M).[11]
Di  Inggrispun positivisme ini banyak penganutnya. Yang 
terutama di  antaranya John Stuart Mill (1806-1873 M).Dan ini kebanyakan
 dipergunakan  untuk segala ilmu, baik untuk logika serta ilmu jiwa, 
maupun  kesusilaan.
Dengan demikian bahwa positivisme
  adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu
  yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan  
filsafat dan ilmu pengetahuan.
C.    
 METODE POSITIVISME
Metode  ini berpangkal
 dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang  positif. Ia 
mengenyampingkan segala uraian/ persoalan di luar yang ada  sebagai 
fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang  diketahui 
secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala.  Dengan 
demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan  dibatasi
 kepada bidang gejala-gejala saja.[12]
Menurut
  Agus Comte(1798 - 1857 M), bahwa indera itu amat penting dalam  
memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan  
diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi  
lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Misal 
 panas diukur dengan derajat panas, jauh di ukur dengan ukuran meteran. 
 berat dengan kiloan, dan sebagainya.Jadi, kita tidak cukup hanya dengan
  mengatakan api itu panas, matahari panas, kopi panas, ketika panasa,  
juga kita tidak cukup mengatakan panas sekali, panas, tidak panas. Namun
  kita memerlukan ukuran yang teliti (secara ilmiah). Dari sinilah  
kemajuan sains benar-benar dimulai.[13]
Menurut  Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung 
dalam tiga tahap:  teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap 
teologis, orang  berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat 
pernyataan kehendak  khusus.[14]
Pada
  tahap metafisik, kekuatan adikodrati itu diubah menjadi kekuatan yang 
 abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang bersifat umum
  yang disebut alam dan dipandangnya sebagai asal dari segala gejala.[15]
Pada
  tahap ini, usaha mencapai pengenalan yang mutlak, baik pengetahuan  
teologis ataupun metafisi dipandang tak berguna, menurutnya, tidaklah  
berguna melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam; melacak hakikat yang
  sejati dari segala sesuatu. Yang  penting adalah menemukan 
hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat  pada fakta-fakta dengan 
pengamatan dan penggunaan akal.[16]
Positivisme  ini sebagai perkembangan yang ekstrem, yakni 
pandangan yang menganggap  bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari 
hanyalah “data-data yang  nyata/empiric”, atau yang mereka namakan 
positif. Nilai-nilai politik  dan sosial menurut positivism dapat
 digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari 
penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri.[17]
Nilai-nilai  politik dan sosial juga dapat dijelaskan 
secara ilmiah, dengan  mengemukakan perubahan historis atas dasar cara 
berpikir induktif, Jadi,  nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang 
dalam suatu proses kehidupan  dari suatu masyarakat itu sendiri.[18]
Jadi,
 penganut faham positivisme  meyakini bahwa hanya ada sedikit 
perbedaan (jika ada) antara ilmu  sosial dan ilmu alam, karena 
masyarakat dan kehidupan sosial berjalan  berdasarkan aturan-aturan, 
demikian juga alam.[19]
Dan 
 bahasa adalah gambar dari kenyataan, karena bahasa sehari-hari tidak  
bisa menggambarkan kenyataan secara benar maka dikembangkanlah bahasa  
logis dengan kecermatan matematis yg akurat. Positif  berarti, “apa
 yg berdasarkan pada fakta objektif”.Asumsi dasar  positivisme tentang 
realitas adalah tunggal, dalam artian bahwa fenomena  alam dan tingkah 
laku manusia itu terikat oleh tertib hukum.Fokus  kajian-kajian 
positivis adalah peristiwa sebab-akibat (kausalitas).[20]
Dalam hal itu aliran positivisme ini menyebutkan, hanya ada
 dua jalan untuk mengetahui : (1) Verifikasi langsung melalui data 
pengindera (empirikal). (2) Penemuan lewat logika (rasional).[21]
Adapun juga ide-ide pokok positivisme, antara lain :[22]
1.     
 Bahwa  ilmu pengetahuan merupakan jenis pengetahuan yang 
paling tinggi  tingkatannya, dan karenanya kajian filsafat harus juga 
bersifat ilmiah (that science is the highest form of knowledge and 
that philosophy thus must be scientific).
2.     
 Bahwa  hanya ada satu jenis metode ilmiah yang berlaku 
secara umum, untuk  segala bidang atau disiplin ilmu, yakni metode 
penelitian ilmiah yang  lazim digunakan dalam ilmu alam.
3.     
 Bahwa pandangan-pandangan metafisik tidak dapat diterima 
sebagai ilmu, tetapi "sekadar" merupakan pseudoscientific.
Jadi,  kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari 
kebenaran adalah teori  korespondensi.Teori korespondensi menyebutkan 
bahwa suatu pernyataan  adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris 
yang mendukung pernyataan  tersebut. Atau dengan kata lain, suatu 
pernyataan dianggap benar  apabila materi yang terkandung dalam 
pernyataan tersebut bersesuaian  (korespodensi) dengan obyek faktual 
yang ditunjuk oleh pernyataan  tersebut.[23]
D.     KONSEP DAN TEORI 
POSITIVISME
1.      Metode penelitian: 
kuantitatif 
2.      Sifat metode 
positivisme adalah obyektif. 
3.      Penalaran: deduktif.
4.      Hipotetik 
Menurut  Agus Comte, perkembangan 
pemikiran manusia baik perorangan maupun  bangsa melalui tiga zaman; 
yaitu zaman teologis, metafisis dan zaman  positif.[24]
Pertama; zaman teologis,  yakni 
zaman di mana manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala  alam, 
terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak  
gejala-gejala tersebut Zaman teologis ini dibagi lagi atas tiga periode :
1)      Periode pertama, di mana benda-bend
 dianggap berjiwa (animisme). 
2)      Periode kedua ketika manusia 
percaya pada Dewa-dewa (politeisme).
3)      Periode ketiga ketika manusia 
percaya pada satu Allah sebagai Yang Maha Kuasa (monoteisme).
Kedua; zaman metafisis, yakni 
kekuatan yang adikodrati diganti dengan ketentuan-ketentuan abstrak.
Ketiga; zaman positif,  yaitu 
ketika orang tidak lagi berusaha mencapai pengetahuan tentang  yang 
mutlak baig teologis maupun metafisis. Sekarang orang berusaha  
mendapatkan hukum-hukum dari fakta-fakta yang didapatinya dengan  
pengamatan dn akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan tercapai  
bilamana gejala-gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu  
fakta yang umum saja.
Hukum  tiga tahap ini tadi tidak 
hanya berlaku bagi perkembangan rohani  seluruh umat manusia, tetapi 
juaga berlaku bagi tiap perseorangan.  Umpamanya sebagai kanak-kanak 
adalah seorang teolog, sebagai pemuda  menjadi metafisi, dan sebagai 
orang dewasa ia adalah seorak fisikus.
E.     KELEMAHAN POSITIVISME
Diantara kelemahan positvisme ini, diantaranya adalah :[25]
1.      Analisis  biologik yang 
ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai  sebagai akar 
terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai  kemanusiaan. 
Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian  
fisik-biologik.
2.      Akibat  dari ketidakpercayaannya 
terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji  kebenarannya, maka faham ini 
akan mengakibatkan banyaknya manusia yang  nantinya tidak percaya kepada
 Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka.  Padahal yang demikian itu 
didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya  dan keberadaannya. Hal 
ini ditandai pada saat paham positivistik  berkembang pada abad ke 19, 
jumlah orang yang tidak percaya kepada agama  semakin meningkat.
3.      Manusia  akan kehilangan makna, 
seni atau keindahan, sehingga manusia tidak  dapat merasa bahagia dan 
kesenangan itu tidak ada. Karena dalam  positivistic semua hal itu 
dinafikan.
4.      Hanya berhenti pada sesuatu yang 
nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang 
valid.
5.      Positivisme  pada kenyataannya 
menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat  dijadikan obyek 
kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung  kepada panca indera.
 Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia  adalah terbatas dan
 tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada  hal-hal yang nampak 
saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat  dijadikan bahan 
kajian.
6.      Hukum  tiga tahap yang 
diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi  yang optimis, 
tetapi juga terkesan lincar – seakan setiap tahapan  sejarah evolusi 
merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan  berikutnya, untuk 
kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai  masyarakat 
positivistic. Bias teoritik seperti itu tidak memberikan  ruang bagi 
realitas yang berkembang atas dasar siklus – yakni realitas  sejarah 
berlangsung berulang-ulang tanpa titik akhir sebuah tujuan  sejarah yang
 final.
F.      POST-POSITIVISME 
(Penentang Positivisme)
Munculnya  gugatan terhadap positivisme  di mulai pada 
tahun (1970-1980 M).  Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya;
 Karl R. Popper,  Thomas Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend,
 Richard  Rotry).Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak 
mungkin  menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, 
karena  tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan 
yang  mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.[26]
Adapun beberapa asumsi dasar pemikiran 
“post-positivisme” ini, diantaranya :[27]
1.      Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
2.      Falibilitas
  Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan  
bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk  
menunjukkan fakta anomali.
3.      Fakta tidak bebas 
melainkan penuh dengan nilai.
4.      Interaksi  antara 
subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase  
objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh  
dengan persoalan dan senantiasa berubah.
5.      Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak
 individual. 
6.      Hal  itu berarti bahwa
 realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan  hanya bisa 
menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang  bersangkutan. 
7.      Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions)
 manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan. 
G.    TEORI DAN KONSEP POST-POSTIVISME
1.      Metode penelitian: kualitatif 
2.      Sifat metode post-positive: Subyektif 
3.      Penalaran: Induktif. 
4.      Interpretatif 
H.     KESIMPULAN
Postivistik
 atau positivisme diketahui juga adalah cabang dari epistemology
 yang tentu juga dari cabang filsafat.[28]
Dengan 
landasan dari epistemology tersebut, bahwa untuk mempertanyakan  bagaimana sesuatu itu datang dan 
bagaimana mengetahuinya, bagaimana  membedakan dengan yang lain. Jadi 
berkenaan dengan situasi dan kondisi  ruang serta waktu tentang sesuatu 
hal. Landasan epistemologi adalah  proses apa yang memungkinkan 
mendapatkan pengetahuan logika, etika,  estetika, bagaimana cara dan 
prosedur memperoleh kebenaran ilmiah,  kebaikan moral dan keindahan 
seni, serta apa definisinya. Epistemologi  moral menelaah evaluasi 
epistemik tentang keputusan moral dan  teori-teori moral.[29]
Adapun 
yang merupakan cabang epistemology diantaranya ; (1) Empirisme, (2) 
Rasionalisme, (3) Positvisme, (4) Intuisionisme.[30]
Dan  dalam pengertian
 abstraknya bahwa filsafat postivisme adalah suatu  aliran filsafat yang
 menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber  pengetahuan yang 
benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan  metafisik. Tidak 
mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data  empiris.[31]
PENUTUP
Dengan  diketahuinya pemahaman positvistik, tentu juga 
memahami epistemology  kita mempunyai dasar untuk mempertahankan dalam 
gugatan dari  post-postivisme tersebut.
Manusia  sebagai makhluk pencari kebenaran dalam 
perenungannya akan menemukan  tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu 
pengetahuan, dan filsafat.  Agama mengantarkan pada kebenaran, dan 
filsafat membuka jalan untuk  mencari kebenaran.[32]
Filsafat
  dipahami sebagai suatu kemampuan berpikir dengan menggunakan rasio  
dalam menyelidiki suatu objek atau mencari kebenaran yang ada dalam  
objek yang menjadi sasaran. Dan  kebenaran itu sendiri belum pasti melekat dalam 
objek.Terkadang hanya  dapat dibenarkan oleh persepsi-persepsi belaka, 
tanpa mempertimbangkan  nilai-nilai universal dalam filsafat.[33]
[1]Mohammad
 Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 
Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), Cet. II, h.
 118.
[3]Ahmad Syadali dan 
Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997),
 h. 101-102.
[4]Ibid.
[5]Ibid.
[6]Poedjawijatna,
 Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: RINEKA CIPTA, 1990),
 Cet ke-VIII, h. 120-121.
[8]Poedjawijatna,
 Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Op.Cit.
[9]Ibid.                     
 
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Amsal
 Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 
2004), h. 154-155.
[13]Ahmad Syadali dan 
Mudzakir, Filsafat Umum, Op.Cit. h. 133-134.
[16]Ibid.
[18]Ibid.
[20]Indriyani Purwaningsih
 , “Perspektif Positivisme & 
Post-Positivisme”, http://catatan-anakfikom.blogspot.com/2012/03/perspektif-positivisme-post-positivisme.html (diakses 22-4-12).
[22]Ibid.
[23]Ibid.
[24]Ahmad Syadali dan 
Mudzakir, Filsafat Umum, Op.Cit, h. 133-134.
[27]Ibid.
[28]Sutardjo A. 
Wiramihardja, “Pengantar Filsafat: Sistematika 
Filsafat”, http://id.shvoong.com/tags/pengantar-filsafat-positivsme (diakses 22-4-12).
[29]Ibid.
[30]Ibid.
[31]Ibid.
[33]Ibid.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad.Filsafat Ilmu: 
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, 
(Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2011), Cet. II.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT.
 RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004).
Poedjawijatna. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: RINEKA CIPTA, 1990), Cet-VIII.
Purwaningsih, Indriyani. “Perspektif 
Positivisme & Post-Positivisme”, http://catatan-anakfikom.blogspot.com/2012/03/perspektif-positivisme-post-positivisme.html (diakses 22-4-12).
Syadali, Ahmad. dan Mudzakir. Filsafat Umum, 
(Bandung: Pustaka Setia, 1997).
Wiramihardja, Sutardjo A.“Pengantar Filsafat: 
Sistematika Filsafat”, http://id.shvoong.com/tags/pengantar-filsafat-positivsme (diakses 22-4-12).
Al-Makmun. “Kelemahan Positivisme”, http://almakmun.blogspot.com/2008/07/positivisme.html (diakses 22-4-2012).

 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar