Minggu, 13 Januari 2013

tugas makalah konsep pikir aliran positivisme

Aliran Filsafat Positivisme

A. PENDAHULUAN
Pada kesempatan ini pembahasannya berawal dari pertanyaan seperti Kebenaran itu apakah kecil atau kebenaran besar ? . Yang sering juga disebut pemikiran filsafat positivisme.[1]
Dan untuk suatu ilmu itu dalam menemukan kebenaran, tentulah menyandarkan dirinya kepada kriteria atau teori-teori kebenaran dan yang salah satunya adalah positivistik atau postivisme.[2]
Pada saat dunia barat telah biasa membagi tahapan sejarah pemikiran menjadi tiga periode, yaitu;[3]
Pertama, Ancient (zaman kuno), menurut mereka pada zaman ini terdapat kemajuan manusia.
Kedua,Medieval (pertengahan), yakni zaman di mana alam pikiran dikungkung atau didominasi oleh Gereja. Selain itu kebebasan pemikiran sangat terbatas, perkembangan sains amat sulit dan perkembangan filsafat tersendat-sendat.
Ketiga Zaman Modern, (sekarang) yakni zaman sesudah abad pertengahan berakhir hingga sekarang
Namun batas yang jelas tentang kapan abad pertengahan berakhir sulit ditentukan.Zaman modern sangat dinanti-nantikan oleh banyak kalangan yang begitu bebas, pemikiran yang tidak dikekang oleh tekanan-tekanan di luar dirinya.Kondisi semacam itulah yang hendak dihidupkan kembali pada zaman modern.Mereka selalu mentaati zaman modern sebagai alternatif sebagai zaman yang tepat untuk menuangkan dengan bebas segala pemikirannya.[4]
Fislafat abad modern pada pokoknya ada 3 aliran:[5]
1) Aliran Rasionalisme (tokohnya Rene Descartes, 1596-1650 M)
2) Aliran Empirisme (tokohnya Francis Bacon, 1210-1292 M)
3) Aliran Kristicisme (tokohnya Immanuel Kant, 1724-1804 M)
B.     PENGERTIAN POSITIVISME
Berawal di Prancis ada aliran yang disebut orang positivisme, yang ditokohi oleh August Comte (1798 – 1857 M).[6]Beliau dianggap juga sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Dan dia dengan singkat memberi gambaran positivisme itu adalah cara pandang dalam memahami dunia berdasarkan sains.[7]Menurut Dia, supaya ada masyarakat baru yang teratur, haruslah terlebih dulu diperbaiki jiwa atau budi. Adapun budi itu menurut Comte mengalami tiga tingkatan, dan tingkatan itu terdapat juga pada kehidupan tiap-tiap manusia, juga pada sejarah ilmu semua.[8]
Tingkat pertama ialah tingkat teologi, yang menerangkan segala-galanya dengan pengaruh dan sebab-sebab yang melebihi kodrat: tingkat kedua ialah tingkat metafisika yang hendak menerangkan segala sesuatunya melalui abstraksi: tingkatan yang ketiga ialah tingkatan positif yang hanya menghiraukan yang sungguh-sungguh serta sebab-akibat yang sudah tertentukan.[9]
Masa sekarang ini (masa Comte) haruslah mengabdikan ilmu yang disebutnya positif.Di samping matematika, fisika dan biologia dalam ilmu kemasyarakatanpun semangat positif ini harus dimasukkan. Apa-apa yang tidak positif itu tidak dapat kita alami dan dalam pada itu baiklah orang mengatakan, bahwa ia tidak tahu saja.[10]
Dalam ilmu-ilmu lain seperti ilmu jiwa, sejarah politik dan kesustraan positivisme ini dijadikan dasar juga, lebih-lebih oleh H. Taine (1828-1893 M).Dalam sosiologi yang mendasarkan asasnya atas postivisme ialah Emile Durkheim (1858-1917 M).[11]
Di Inggrispun positivisme ini banyak penganutnya. Yang terutama di antaranya John Stuart Mill (1806-1873 M).Dan ini kebanyakan dipergunakan untuk segala ilmu, baik untuk logika serta ilmu jiwa, maupun kesusilaan.
Dengan demikian bahwa positivisme adalah aliran filsafat yang berpangkal dari fakta yang positif sesuatu yang diluar fakta atau kenyataan dikesampingkan dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan.
C.     METODE POSITIVISME
Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan segala uraian/ persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.[12]
Menurut Agus Comte(1798 - 1857 M), bahwa indera itu amat penting dalam memperoleh pengetahuan, tetapi harus dipertajam dengan alat bantu dan diperkuat dengan eksperimen. Kekeliruan indera akan dapat dikoreksi lewat eksperimen. Eksperimen memerlukan ukuran-ukuran yang jelas. Misal panas diukur dengan derajat panas, jauh di ukur dengan ukuran meteran. berat dengan kiloan, dan sebagainya.Jadi, kita tidak cukup hanya dengan mengatakan api itu panas, matahari panas, kopi panas, ketika panasa, juga kita tidak cukup mengatakan panas sekali, panas, tidak panas. Namun kita memerlukan ukuran yang teliti (secara ilmiah). Dari sinilah kemajuan sains benar-benar dimulai.[13]
Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia berlangsung dalam tiga tahap: teologis, metafisis, dan positif. Pada tahap teologis, orang berkeyakinan bahwa dibalik segala sesuatu tersirat pernyataan kehendak khusus.[14]
Pada tahap metafisik, kekuatan adikodrati itu diubah menjadi kekuatan yang abstrak, yang kemudian dipersatukan dalam pengertian yang bersifat umum yang disebut alam dan dipandangnya sebagai asal dari segala gejala.[15]
Pada tahap ini, usaha mencapai pengenalan yang mutlak, baik pengetahuan teologis ataupun metafisi dipandang tak berguna, menurutnya, tidaklah berguna melacak asal dan tujuan akhir seluruh alam; melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu. Yang penting adalah menemukan hukum-hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta-fakta dengan pengamatan dan penggunaan akal.[16]
Positivisme ini sebagai perkembangan yang ekstrem, yakni pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data-data yang nyata/empiric”, atau yang mereka namakan positif. Nilai-nilai politik dan sosial menurut positivism dapat digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri.[17]
Nilai-nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah, dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara berpikir induktif, Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu masyarakat itu sendiri.[18]
Jadi, penganut faham positivisme meyakini bahwa hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.[19]
Dan bahasa adalah gambar dari kenyataan, karena bahasa sehari-hari tidak bisa menggambarkan kenyataan secara benar maka dikembangkanlah bahasa logis dengan kecermatan matematis yg akurat. Positif berarti, “apa yg berdasarkan pada fakta objektif”.Asumsi dasar positivisme tentang realitas adalah tunggal, dalam artian bahwa fenomena alam dan tingkah laku manusia itu terikat oleh tertib hukum.Fokus kajian-kajian positivis adalah peristiwa sebab-akibat (kausalitas).[20]
Dalam hal itu aliran positivisme ini menyebutkan, hanya ada dua jalan untuk mengetahui : (1) Verifikasi langsung melalui data pengindera (empirikal). (2) Penemuan lewat logika (rasional).[21]
Adapun juga ide-ide pokok positivisme, antara lain :[22]
1.      Bahwa ilmu pengetahuan merupakan jenis pengetahuan yang paling tinggi tingkatannya, dan karenanya kajian filsafat harus juga bersifat ilmiah (that science is the highest form of knowledge and that philosophy thus must be scientific).
2.      Bahwa hanya ada satu jenis metode ilmiah yang berlaku secara umum, untuk segala bidang atau disiplin ilmu, yakni metode penelitian ilmiah yang lazim digunakan dalam ilmu alam.
3.      Bahwa pandangan-pandangan metafisik tidak dapat diterima sebagai ilmu, tetapi "sekadar" merupakan pseudoscientific.
Jadi, kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah teori korespondensi.Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.[23]



D.     KONSEP DAN TEORI POSITIVISME
1.      Metode penelitian: kuantitatif
2.      Sifat metode positivisme adalah obyektif.
3.      Penalaran: deduktif.
4.      Hipotetik
Menurut Agus Comte, perkembangan pemikiran manusia baik perorangan maupun bangsa melalui tiga zaman; yaitu zaman teologis, metafisis dan zaman positif.[24]
Pertama; zaman teologis, yakni zaman di mana manusia percaya bahwa di belakang gejala-gejala alam, terdapat kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala-gejala tersebut Zaman teologis ini dibagi lagi atas tiga periode :
1)      Periode pertama, di mana benda-bend dianggap berjiwa (animisme).
2)      Periode kedua ketika manusia percaya pada Dewa-dewa (politeisme).
3)      Periode ketiga ketika manusia percaya pada satu Allah sebagai Yang Maha Kuasa (monoteisme).
Kedua; zaman metafisis, yakni kekuatan yang adikodrati diganti dengan ketentuan-ketentuan abstrak.
Ketiga; zaman positif, yaitu ketika orang tidak lagi berusaha mencapai pengetahuan tentang yang mutlak baig teologis maupun metafisis. Sekarang orang berusaha mendapatkan hukum-hukum dari fakta-fakta yang didapatinya dengan pengamatan dn akalnya. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan tercapai bilamana gejala-gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta yang umum saja.
Hukum tiga tahap ini tadi tidak hanya berlaku bagi perkembangan rohani seluruh umat manusia, tetapi juaga berlaku bagi tiap perseorangan. Umpamanya sebagai kanak-kanak adalah seorang teolog, sebagai pemuda menjadi metafisi, dan sebagai orang dewasa ia adalah seorak fisikus.
E.     KELEMAHAN POSITIVISME
Diantara kelemahan positvisme ini, diantaranya adalah :[25]
1.      Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.
2.      Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
3.      Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikan.
4.      Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
5.      Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
6.      Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincar – seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic. Bias teoritik seperti itu tidak memberikan ruang bagi realitas yang berkembang atas dasar siklus – yakni realitas sejarah berlangsung berulang-ulang tanpa titik akhir sebuah tujuan sejarah yang final.

F.      POST-POSITIVISME (Penentang Positivisme)
Munculnya gugatan terhadap positivisme  di mulai pada tahun (1970-1980 M). Pemikirannya dinamai “post-positivisme”. Tokohnya; Karl R. Popper, Thomas Kuhn, para filsuf mazhab Frankfurt (Feyerabend, Richard Rotry).Paham ini menentang positivisme, alasannya tidak mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa di prediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.[26]
Adapun beberapa asumsi dasar pemikiran “post-positivisme” ini, diantaranya :[27]
1.      Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori.
2.      Falibilitas Teori, tidak satupun teori yang dapat sepenuhnya dijelaskan dengan bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
3.      Fakta tidak bebas melainkan penuh dengan nilai.
4.      Interaksi antara subjek dan objek penelitian. Hasil penelitian bukanlah reportase objektif melainkan hasil interaksi manusia dan semesta yang penuh dengan persoalan dan senantiasa berubah.
5.      Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual.
6.      Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan.
7.      Fokus kajian post-positivis adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.
G.    TEORI DAN KONSEP POST-POSTIVISME
1.      Metode penelitian: kualitatif
2.      Sifat metode post-positive: Subyektif
3.      Penalaran: Induktif.
4.      Interpretatif
H.     KESIMPULAN
Postivistik atau positivisme diketahui juga adalah cabang dari epistemology yang tentu juga dari cabang filsafat.[28]
Dengan landasan dari epistemology tersebut, bahwa untuk mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang dan bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan yang lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu tentang sesuatu hal. Landasan epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa definisinya. Epistemologi moral menelaah evaluasi epistemik tentang keputusan moral dan teori-teori moral.[29]
Adapun yang merupakan cabang epistemology diantaranya ; (1) Empirisme, (2) Rasionalisme, (3) Positvisme, (4) Intuisionisme.[30]
Dan dalam pengertian abstraknya bahwa filsafat postivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.[31]



PENUTUP
Dengan diketahuinya pemahaman positvistik, tentu juga memahami epistemology kita mempunyai dasar untuk mempertahankan dalam gugatan dari post-postivisme tersebut.
Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan pada kebenaran, dan filsafat membuka jalan untuk mencari kebenaran.[32]
Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berpikir dengan menggunakan rasio dalam menyelidiki suatu objek atau mencari kebenaran yang ada dalam objek yang menjadi sasaran. Dan kebenaran itu sendiri belum pasti melekat dalam objek.Terkadang hanya dapat dibenarkan oleh persepsi-persepsi belaka, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai universal dalam filsafat.[33]

[1]Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), Cet. II, h. 118.
[2]Ibid, h. 121.
[3]Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 101-102.
[4]Ibid.
[5]Ibid.
[6]Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: RINEKA CIPTA, 1990), Cet ke-VIII, h. 120-121.
[7]Mohammad Adib, FIlsafat Ilmu, h. 122, Op.Cit.
[8]Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Op.Cit.
[9]Ibid.                     
[10]Ibid.
[11]Ibid.
[12]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004), h. 154-155.
[13]Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Op.Cit. h. 133-134.
[14]Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Op.Cit.
[15]Ibid.
[16]Ibid.
[17]Mohammad Adib, FIlsafat Ilmu… , Op.Cit, h. 122.
[18]Ibid.
[19]Ibid, h. 122-123.
[21]Ibid.
[22]Ibid.
[23]Ibid.
[24]Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum, Op.Cit, h. 133-134.
[26]Indriyani Purwaningsih , “Perspektif Positivisme & Post-Positivisme”,Op.Cit.
[27]Ibid.
[28]Sutardjo A. Wiramihardja, “Pengantar Filsafat: Sistematika Filsafat”, http://id.shvoong.com/tags/pengantar-filsafat-positivsme (diakses 22-4-12).
[29]Ibid.
[30]Ibid.
[31]Ibid.
[32]Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: ..., h. 117.
[33]Ibid.


DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad.Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR, 2011), Cet. II.
Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT. RAJAGRAFINDO PERSADA, 2004).

Poedjawijatna. Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: RINEKA CIPTA, 1990), Cet-VIII.
Syadali, Ahmad. dan Mudzakir. Filsafat Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 1997).

Wiramihardja, Sutardjo A.“Pengantar Filsafat: Sistematika Filsafat”, http://id.shvoong.com/tags/pengantar-filsafat-positivsme (diakses 22-4-12).
Al-Makmun. “Kelemahan Positivisme”, http://almakmun.blogspot.com/2008/07/positivisme.html (diakses 22-4-2012).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar